Senin, 19 November 2007
Cukup Berhenti Korupsi, Kenaikan Gaji PNS Bisa Dilakukan oleh Afrizal Said, MBA
"Kenaikan gaji PNS tidak perlu harus dengan menaikkan pajak atau mengurangi anggaran yang lain. Cukup dengan tidak melakukan korupsi," katanya, seusai menghadiri pembukaan seminar "Pemberantasan Korupsi Melalui Reformasi Birokrasi" oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Kamis.
Ia mengungkapkan anggaran untuk belanja barang dan jasa pada Tahun Anggaran 2007 mencapai Rp480 triliun dan pada 2008 mencapai Rp600 triliun. Dari nilai sebesar itu, kalau bisa dihemat 25 hingga 35 persen atau sekitar Rp150 triliun, maka cukup untuk menaikkan gaji PNS, bahkan membayar utang.
"Jadi tidak perlu repot. Cukup berhenti korupsi. Maka gaji PNS akan naik bahkan bisa untuk membayar hutang," kata Taufiqurahman menegaskan.
Jadi, tambah dia, pemerintah tidak perlu takut jika anggaran belanja negara akan terkuras habis untuk menaikan gaji pegawai, karena pertumbuhan ekonomi, yang stagnan karena jika anggaran yang ada digunakan dengan tepat sesuai target dan sasaran yang diinginkan, maka anggaran yang ada cukup untuk menaikkan gaji pegawai.
Sebelumnya, Wapres Jusuf Kalla mengemukakan birokrasi yang baik adalah bagaimana menjalankan semua aturan dengan cepat, baik dan biaya yang sesuai aturan untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien.
"Karena bagaimana pun, antara negara, birokrasi dan ekonomi saling terkait. Pertumbuhan ekonomi meningkat, jika birokrasi efektif dan efisien. Apalagi birokrasi yang bersentuhan dengan pelayanan publik, tentunya menuntut adanya kenaikan gaji. Nah gaji akan naik jika ada pertumbuhan ekonomi," tuturnya.
Jika hanya menaikkan gaji, tanpa ada pertumbuhan ekonomi yang memadai, maka semua akan tersedot pada belanja rutin dan dikhawatirkan pada 2011 terjadi stagnasi pembangunan.
Strengthening the Poverty Reduction Capacity of Regional Governments through Participatory Poverty Assessment (PPA) by Sandiaga S. Uno
The progress and the results of this study is reported in the Phase I and Phase II Reports, and the Final Report. The results of this study include an analysis of the poverty condition in the two pilot districts, an assessment on the capacity of the district government in analyzing poverty and designing policy and programs for reducing poverty, and an assessment on the potential integration of PPA into the regional development planning process. Based on these results, several recommendations have been drawn with regard to alternative policies for reducing poverty in the two pilot districts, efforts to develop the capacity of district governments in poverty reduction, and the integration of PPA into the existing regional planning process.
Jumat, 31 Agustus 2007
Sistem Pensiun Yang Terlalu Boros - Morendy Octora
Hingga sekarang negara membayar setidaknya Rp9 triliun tiap bulan sebagai uang pensiun pegawai negeri dan pejabat negara. Belum lagi tagihan dari dana pensiun yang dikelola PT Taspen sebesar Rp300 triliun yang pernah dipakai pemerintah. Kasus tagihan itu membuktikan uang pensiun tidak saja menjadi beban negara, tetapi juga dana murah dan berlimpah sehingga bisa dipergunakan sekehendak hati oleh yang sedang mengendalikan kekuasaan.
Pensiun adalah hak normatif yang telah diatur undang-undang. Pejabat negara dan pengawai negeri sipil oleh undang-undang diharuskan memperoleh hak pensiun. Bahkan pegawai swasta pun demikian. Yang menjadi persoalan sesungguhnya bukan pada hak normatif, melainkan sistem yang dianut.
Sistem pembayaran pensiun di Indonesia termasuk boros, bahkan sangat boros. Terbuka kemungkinan seseorang bisa memperoleh pembayaran uang pensiun dari negara beberapa kali.
Sebagai misal, seorang pegawai negeri yang karena kariernya bagus juga dipercaya menjadi pejabat negara. Ia diangkat menjadi duta besar, tetapi juga menjadi guru besar di sebuah perguruan tinggi swasta. Pejabat seperti itu berhak atas uang pensiun pada tiga pos jabatan.
Harus diakui, penerima pensiun di Indonesia seperti itu sangat banyak. Karena itu, hal tersebut patutlah dibenahi agar hak dan kewajiban warga negara dilayani secara proporsional. Dengan demikian, negara yang mengeluh miskin dari waktu ke waktu tidak digerogoti sistem yang tidak saja boros, tetapi juga korup.
Nah, terdapat sejumlah pilihan. Pertama, tidak boleh ada seorang pegawai negeri sipil atau pejabat negara yang menerima uang pensiun dari sejumlah jabatan. Cukup dari satu jenis jabatan saja dengan tingkat tertinggi.
Kedua, uang pensiun dibayarkan sekaligus dalam bentuk pesangon. Dengan cara itu, negara tidak harus menaikkan uang pensiun secara berkala.
Ketiga, negara menaikkan gaji pegawai negeri dan pejabat negara setinggi mungkin dan tidak lagi berkewajiban membayar uang pensiun. Dengan gaji tinggi dan kompetitif pegawai negeri sipil dan pejabat negara bisa mengurus pensiun masing-masing melalui pilihan yang tersedia di lingkungan perbankan atau asuransi.
Keempat, pilihan sukarela. Pegawai negeri sipil dan pejabat negara yang karena nasib atau karier memiliki keberuntungan ekonomi yang memadai boleh menyatakan kepada negara bahwa hak pensiunnya tidak perlu dibayar. Hak orang-orang seperti itu dialihkan untuk fakir miskin, penganggur yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi tanggung jawab negara.
Bila salah satu dari opsi itu ditempuh, alangkah banyaknya uang negara yang dihemat. Negara dengan demikian memiliki dana memadai untuk melaksanakan program-program penanggulangan kemiskinan yang pada ujungnya menciptakan kesejahteraan.
Tentu, dengan catatan bahwa dana yang berlimpah karena perubahan sistem pembayaran uang pensiun tidak dikelola dengan semangat korupsi. Dan pula, salah satu dari opsi yang dipaparkan itu lebih mendidik warga negara untuk bertanggung jawab terhadap nasibnya sendiri di saat suka dan duka.
Apakah opsi-opsi itu tidak malah menyebabkan negara mengkhianati kewajiban melindungi dan meningkatkan kesejahteraan warganya? Jawabnya tidak. Karena negara lebih fokus pada misi memerangi kemiskinan. Negara hanya menyediakan skema anggaran untuk orang miskin dan tidak beruntung. Mungkin skemanya bisa digabungkan pada dana penanggulangan bencana.
Anindya N Bakrie - Pegawai Negeri Sipil
- Menyangkut rasionalisasi atau pengurangan jumlah PNS, sesungguhnya itu merupakan hal yang penting dan sangat relevan. Sekarang ini jumlah PNS sudah mencapai 3,7 juta orang. Menurut Menneg PAN yang dibutuhkan kira-kira hanya 2,5 juta orang. Beberapa tahun lalu Feisal Tamin, ketika itu juga menjabat Menneg PAN, mengatakan, hanya 60% PNS yang bekerja efektif dan selebihnya bisa dikatakan kurang produktif. Padahal mereka digaji setiap bulan dan anggaran untuk gaji PNS setiap tahun triliunan rupiah. Bagaimana itu bisa terjadi? Tentu kesalahan sejak proses perekrutan di samping belum adanya ketegasan dan kejelasan kebijakan mengenai hal ini.
- Logikanya, kalau jumlah PNS dikurangi hampir separonya maka kemudian dengan alokasi anggaran yang sama bisa dipergunakan untuk meningkatkan gaji mereka secara signifikan. Kendati setiap tahun sudah diadakan penyesuaian namun belum mengejar kebutuhan hidup sehari-hari. Inilah yang selalu dijadikan alasan pembenar korupsi atau melakukan pungutan liar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Memang tidak ada jaminan kalau gaji sudah dinaikkan korupsi akan hilang. Namun setidaknya kita punya nyali untuk bertindak tegas dan melakukan perombakan total karena dari segi kesejahteraan, para pegawai negeri sipil makin diperhatikan.
- Wacana yang sekarang digulirkan tentang penghapusan pensiun termasuk pensiun untuk anggota DPR atau pejabat negara lain juga tidak kalah menarik. Menurut Taufik Effendi, sekarang ini jumlah pensiunan PNS mencapai tidak kurang empat juta orang. Untuk dana pensiun itu pemerintah harus menganggarkan hampir Rp 6 triliun. Ke depan beban itu akan bertambah banyak sedangkan di sisi lain kemampuan anggaran makin terbatas. Sebagai ganti uang pensiun adalah uang pesangon yang bisa dijadikan modal usaha atau keperluan lain. Lagi-lagi masalahnya, beranikah kita melakukan langkah terobosan semacam itu.
- Biasanya tidak ada keberanian pemerintah yang sedang berkuasa untuk melakukan kebijakan drastis yang bisa jadi akan menurunkan popularitasnya. Pada masa lalu, PNS atau birokrasi menjadi pilar kekuatan politik. Sekarang pun pasti berusaha digiring ke arah sana minimal dengan memberikan kebijakan yang menyenangkan sehingga bisa diperoleh simpati. Dalam konteks seperti itu bagaimana mungkin seorang SBY atau Jusuf Kalla berani memecat PNS ataupun menghapuskan uang pensiun. Walaupun sesungguhnya langkah itu sangat diperlukan agar kita selamanya tak terbebani oleh masalah-masalah struktural seperti itu.
- Paradigma baru yang perlu dikembangkan, menyusul apa yang sudah dilakukan di banyak negara, adalah efisiensi birokrasi. Perampingan yang diarahkan pada peningkatan profesionalisme dan juga produktivitas. Bukan rahasia lagi sekarang ini banyak PNS yang setengah menganggur ataupun kurang memiliki kemampuan sesuai bidang tugasnya. Paradigma baru juga mengarahkan pada fungsi kewirausahaan karena hakikatnya sebagai pelayan dan abdi masyarakat. Sudah bukan waktunya lagi memolitisasi atau berpikir secara politis. Akan tetapi lagi-lagi kita harus bertanya, benarkah kita sudah berubah. Dari hanya pandai berwacana menjadi benar-benar siap dengan implementasi.
Selasa, 28 Agustus 2007
HIPMI Canangkan 1 Juta Entrepreneur
Tekad ini didasari kenyataan bahwa sampai saat ini pengangguran masih tinggi sedangkan disisi lain pemerintah memiliki keterbatasan untuk menciptakan lapangan kerja. “Oleh karena itu, para pemuda di Indonesia harus dirubah mindsetnya dari mencari pekerjaan menjadi pencipta lapangan kerja,” lanjutnya. Dengan terciptanya lapangan kerja, maka diharapkan juga akan mengurangi kemiskinan.
Seakan bersambut, Menteri Koperasi dan UKM Suryadharma Ali menantang anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) untuk turut menyukseskan program sarjana pencipta lapangan kerja mandiri. Menurut menteri, program yang dimiliki Hipmi memiliki persamaan prinsip dengan program Kemenkop dan UKM, yakni Program Sarjana Pencipta Kerja Mandiri (Prospek Mandiri).
"Oleh karena itu saya menantang Hipmi untuk menghimpun 1.000 sarjana untuk berperan dalam penciptaan lapangan kerja" kata Suryadharma Ali ketika menyampaikan sambutannya pada rapat kerja nasional ke-13 HIPMI di Semarang, Rabu (21/2). Untuk suksesnya program ini, Kemenkop dan UKM menyediakan anggaran sebesar Rp6,6 miliar yang akan disebar secara merata ke-33 koperasi di 33 provinsi.
Menurut Ketua Umum Hipmi Sandiaga S Uno, tujuan dari program ini adalah untuk mengurangi tingkat pengangguran intelek yang saat ini jumlahnya cenderung bertambah.
Sandi menjelaskan, sebanyak 2.500 dari 25 ribu anggota Hipmi akan menjadi andalan penggerak perekonomian Indonesia sehingga keberadaannya perlu diperhitungkan.
"Anggota HIPMI tumbuh dari kecil menjadi besar, bersaing di kawasan lokal, nasional, dan global. Kita harus tumbuhkan semangat wirausaha," katanya.
Hipmi yang kini berdiri di 32 provinsi bertekad menciptakan "Gerakan Kewirausahaan Satu Juta Pengusaha Baru" agar mampu menjadi sektor andalan penggerak perekonomian di Indonesia, katanya.
Leadership - Sandiaga Salahudin Uno
Chris Crespo led the proverbial "double life" for eight years. At her home in Pittsburgh she lived with her partner of eight years and at Ernst & Young, where she was in the tax practice, she was a closeted lesbian who called her girlfriend her roommate. "It was a fearful time," says Crespo, who worried that her co-workers and clients would shun her if they learned she is gay.
That double life ended in 1992 at a gathering for a colleague's going away party. The conversation became political--and heated. A male co-worker was gay bashing and Crespo reached her boiling point. "I stood up and said, "You're talking about 'those' homosexuals but you're talking about people like me,'" says Crespo."I called my partner and said, 'I'll probably be fired today.' "
Times have changed--many workplaces now have nondiscrimination policies and same-sex partner benefits. But people interviewed for this article say that deciding to come out at the office and then figuring out how to do it comfortably is an issue they deal with every time they switch jobs. Obviously there is not a one-size-fits-all method. But several people who came out at the office say certain things have worked for them.
In Pictures: Coming Out At Work
As for Crespo, she wasn't fired or shunned. Instead, her homophobic co-worker came under fire. Crespo's colleagues rallied around her and she became closer with many of them as a result of her honesty. Many said they truly got to know her for the first time.
As Crespo moved up the corporate ladder, the issue resurfaced. One thing that worked for her was looking for clues from new colleagues. For instance, during discussions about current events, a co-worker might say he or she supports gay marriage. That's when she knows that it's comfortable (or not) to talk about her partner.
She doesn't need to do this anymore. Crespo turned the thing she was most afraid of--coming out at work--into the focus of her career. She heads Ernst & Young's resource group for lesbian, gay, bisexual, transgender employees and their allies, called bEYond. The group focuses on inclusion, educating employees and fostering an open environment.
Employees looking to come out at work should ask human resources if their firm has a nondiscrimination policy and if there is an LGBT resource group. There are 20 states and the District of Columbia that protect based on sexual orientation. There are also numerous cities and counties where nondiscrimination laws have been passed despite the lack of a statewide law.
When these laws are violated, consequences vary state by state. In almost all cases, though, the law gives employees the right to take their employers to court where they may "recover their lost wages and other benefits, emotional distress damages and punitive damages."
Having an LGBT resource group is a good indication that the firm is a comfortable place to be out. Use the LGBT resource network to hear examples of how your colleagues came out. It's also a good support network for individuals who feel nervous about coming out or feel discriminated against during the process.
If your office doesn't have an LGBT network, use Crespo's suggestion of looking for clues to find people at work who are supportive or who may be gay themselves. Having a small circle of friends at work is a strong first step because you're able to be yourself with them. "If you can come out to that one person, they can help you through what comes next," says Jere Keys, a spokesman for Out & Equal Workplace Advocates.
His organization, which has chapters across the country, can offer emotional support and guidance. College LGBT centers are another option for people looking for support outside the office even if they're not students.
Some might wonder why gay employees want to formally discuss their sexual orientation--they say that straight workers don't discuss theirs. But that's not true, says Eric Bloem, deputy director of the workplace project at Human Rights Campaign.
He points to the simplicities of office life in which co-workers ask one another what they did over the weekend. Straight employees discuss their significant others and plans they had. Employees who are gay and haven't come out often use gender-neutral pronouns for their friends and partners. For years Crespo referred to her significant other as her roommate.
"It's as simple as an individual not being able to share what he or she did with his or her partner the weekend before," says Bloem. "When you're asked, 'Are you dating someone?' it takes a lot of energy to make things up. That's not a good feeling for any individual."
Before Bryan Parsons came out at Ernst & Young, he never lied, but he found ways to get around making it obvious he is gay. For instance, when co-workers asked what he did over a summer weekend he said he went to the beach instead of specifically saying he visited Provincetown, Mass., a beach town known for its gay community.
He waited five years before coming out at work. "It was draining," says Parsons. Companies are learning that it's in their best interest to foster an inclusive workplace. Parsons and other gay employees say they were less productive at work while they were in the closet. That's partly because they spent so much energy hiding their identity and partly because they resented that they felt they had to.
One longtime LA Times sports writer complained of writer's block for years. That all ended for Christine Daniels--formerly Mike Penner--when she wrote a column for the paper several months ago explaining that she is transsexual. She wrote about being terrified of her readers and colleagues' reactions.
Daniels now writes a blog for the LA Times called " A Woman in Progress," about the process of coming out. Like Crespo, she was pleasantly surprised by the goodwill that came from far and near. Daniels said she feared this day for decades. But readers cheered her on with e-mails and calls congratulating her courage.
Says Crespo, "It taught me you have to be careful of what you're afraid of."
Arsitektur Perbankan Indonesia oleh Rifky A.G, SE, MM, MBA
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang yang dirumuskan dalam API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Berpijak dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan sebagai kelanjutan dari program restrukturisasi perbankan yang sudah berjalan sejak tahun 1998, maka Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan API sebagai suatu kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia ke depan. Peluncuran API tersebut tidak terlepas pula dari upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian Indonesia melalui penerbitan buku putih Pemerintah sesuai dengan Inpres No. 5 Tahun 2003, dimana API menjadi salah satu program utama dalam buku putih tersebut.
Bertitik tolak dari keinginan untuk memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat dan dengan memperhatikan masukan-masukan yang diperoleh dalam mengimplementasikan API selama dua tahun terakhir, maka Bank Indonesia merasa perlu untuk menyempurnakan program-program kegiatan yang tercantum dalam API. Penyempurnaan program-program kegiatan API tersebut tidak terlepas pula dari perkembangan-perkembangan yang terjadi pada perekonomian nasional maupun internasional. Penyempurnaan terhadap program-program API tersebut antara lain mencakup strategi-strategi yang lebih spesifik mengenai pengembangan perbankan syariah, BPR, dan UMKM ke depan sehingga API diharapkan memiliki program kegiatan yang lebih lengkap dan komprehensif yang mencakup sistem perbankan secara menyeluruh terkait Bank umum dan BPR, baik konvensional maupun syariah, serta pengembangan UMKM.