PARADOKS Indonesia sangat banyak. Tidak saja pada realitas Indonesia yang kaya tapi miskin, tapi juga pada Indonesia yang miskin tapi boros. Salah satu paradoks yang sekarang menjadi sorotan adalah sistem pensiun pegawai negeri sipil dan pejabat negara.
Hingga sekarang negara membayar setidaknya Rp9 triliun tiap bulan sebagai uang pensiun pegawai negeri dan pejabat negara. Belum lagi tagihan dari dana pensiun yang dikelola PT Taspen sebesar Rp300 triliun yang pernah dipakai pemerintah. Kasus tagihan itu membuktikan uang pensiun tidak saja menjadi beban negara, tetapi juga dana murah dan berlimpah sehingga bisa dipergunakan sekehendak hati oleh yang sedang mengendalikan kekuasaan.
Pensiun adalah hak normatif yang telah diatur undang-undang. Pejabat negara dan pengawai negeri sipil oleh undang-undang diharuskan memperoleh hak pensiun. Bahkan pegawai swasta pun demikian. Yang menjadi persoalan sesungguhnya bukan pada hak normatif, melainkan sistem yang dianut.
Sistem pembayaran pensiun di Indonesia termasuk boros, bahkan sangat boros. Terbuka kemungkinan seseorang bisa memperoleh pembayaran uang pensiun dari negara beberapa kali.
Sebagai misal, seorang pegawai negeri yang karena kariernya bagus juga dipercaya menjadi pejabat negara. Ia diangkat menjadi duta besar, tetapi juga menjadi guru besar di sebuah perguruan tinggi swasta. Pejabat seperti itu berhak atas uang pensiun pada tiga pos jabatan.
Harus diakui, penerima pensiun di Indonesia seperti itu sangat banyak. Karena itu, hal tersebut patutlah dibenahi agar hak dan kewajiban warga negara dilayani secara proporsional. Dengan demikian, negara yang mengeluh miskin dari waktu ke waktu tidak digerogoti sistem yang tidak saja boros, tetapi juga korup.
Nah, terdapat sejumlah pilihan. Pertama, tidak boleh ada seorang pegawai negeri sipil atau pejabat negara yang menerima uang pensiun dari sejumlah jabatan. Cukup dari satu jenis jabatan saja dengan tingkat tertinggi.
Kedua, uang pensiun dibayarkan sekaligus dalam bentuk pesangon. Dengan cara itu, negara tidak harus menaikkan uang pensiun secara berkala.
Ketiga, negara menaikkan gaji pegawai negeri dan pejabat negara setinggi mungkin dan tidak lagi berkewajiban membayar uang pensiun. Dengan gaji tinggi dan kompetitif pegawai negeri sipil dan pejabat negara bisa mengurus pensiun masing-masing melalui pilihan yang tersedia di lingkungan perbankan atau asuransi.
Keempat, pilihan sukarela. Pegawai negeri sipil dan pejabat negara yang karena nasib atau karier memiliki keberuntungan ekonomi yang memadai boleh menyatakan kepada negara bahwa hak pensiunnya tidak perlu dibayar. Hak orang-orang seperti itu dialihkan untuk fakir miskin, penganggur yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi tanggung jawab negara.
Bila salah satu dari opsi itu ditempuh, alangkah banyaknya uang negara yang dihemat. Negara dengan demikian memiliki dana memadai untuk melaksanakan program-program penanggulangan kemiskinan yang pada ujungnya menciptakan kesejahteraan.
Tentu, dengan catatan bahwa dana yang berlimpah karena perubahan sistem pembayaran uang pensiun tidak dikelola dengan semangat korupsi. Dan pula, salah satu dari opsi yang dipaparkan itu lebih mendidik warga negara untuk bertanggung jawab terhadap nasibnya sendiri di saat suka dan duka.
Apakah opsi-opsi itu tidak malah menyebabkan negara mengkhianati kewajiban melindungi dan meningkatkan kesejahteraan warganya? Jawabnya tidak. Karena negara lebih fokus pada misi memerangi kemiskinan. Negara hanya menyediakan skema anggaran untuk orang miskin dan tidak beruntung. Mungkin skemanya bisa digabungkan pada dana penanggulangan bencana.